Dekan dan Dosen Fakultas Psikologi UAD Ikut Serta dalam Konferensi Internasional di Afrika Selatan
Dekan Fakultas Psikologi Ibu Elli Nur Hayati, M.P.H., Ph.D., Psikolog dan para dosen Fakultas Psikologi UAD (Dr. AM. Diponegoro, S.Ag., M.Ag, Dr. Nina Zulida S, S.Psi., M.Psi., Psikolog, Dra. Ciptasari Prabawatnti, M.Sc., Ph.D, dan Arini Widyowati, S.Psi., M.Psi., Ph.D., Psikolog) ikut serta dalam konferensi internasional ke -4 tentang Sistem Pengetahuan Masyarakat Setempat pada 22 Oktober 2024 bertempat di Hyat Regency yang berkawasan di Cape Town, Afrika Selatan. Acara bergengsi ini mempertemukan para akademisi, praktisi, mahasiswa, seniman, dan aktivis dari seluruh dunia. Konferensi ini berfungsi sebagai platform untuk terlibat secara kritis dengan penciptaan pengetahuan dan dasar-dasar filosofis mengenai pengetahuan. IKSP adalah international conference knowledge system and practices yg diinisiasi dan dihosting oleh University Philippines (UP) Manila dan UAD. IKSP pertama dilaksanakan di Manila dengan UP Manila sebagai host, IKSP kedua dilaksanakan online dengan UAD sebagai host, IKSP ketiga dilaksanakan di UAD dengan UAD lagi sebagai host, dan IKSP 4 dilaksanakan di Cape Town dengan host Univ of South Africa (UNISA). Konferns ini selanjutnya akan dilaksanakan 2 tahun sekali dan berpindah host sesuai dengan kesepakatan. Untuk IKSP tahun 2026 akan diadakan di Nairobi, Kenya.
Dalam pidato pembukaannya, Prof Shanaaz Suffla, seorang pejabat kepala dari Institute for Social and Health Sciences (ISHS), mengatakan bahwa Ia merasa terhormat menjadi tuan rumah dari mitra-mitra terhormat yaitu diantaranya, Ibu Elli Nur Hayati, M.P.H., Ph.D., Psikolog dan Arini Widyowati, M.Psi., Ph.D., Psikolog (Universitas Ahmad Dahlan, Indonesia), serta Prof Teresa De Guzman (University of the Philippines). Dalam sambutannya ini, Suffla mengatakan akan berkomitmen bersama dengan ISHS untuk memajukan wacana akademis kritis dan membina jaringan yang berkelanjutan untuk mendukung sistem pengetahuan lokal secara global.
Dekan eksekutif Fakultas Ilmu Humaniora, Prof. Zethu Nkosi, juga menyambut hangat para tamu dengan sambutan khas. Ia menyapa para tamu dengan bebagai bahasa menyesuaikan daerah asal tamu undangan. Nkosi menekankan para peserta untuk merangkul rasa ingin tahu, transdisiplineritas, dan keterlibatan secara kritis dengan praktik sistem pengetahuan.
Prof. Puleng Segalo, seorang ketua pejabat Albert Luthuli Research, menyampaikan pidato yang berjudul “On Mourning and Dreaming : Reimagining and Reclaiming Our Sense of Being”.
Segalo mengawali pidatonya dengan merenungkan insiden tragis yang melibatkan lima anak Soweto yang merupakan salah satu kota di Afrika Selatan. Lima anak tersebut tewas karena diduga mengonsumsi makanan ringan dari Toko Spaza. Hal ini menjadi awalan bahasan yang cukup menarik perhatian mengenai kesejahteraan dan keadilan sosial. Mirisnya lagi adalah kejadian ini bukan yang kali pertama, namun sudah pernah terjadi beberapa kali sebelumnya.
“Bagaimana kita tidak merasa miris? Bagaimana kita tidak berduka secara nasional karena kehilangan begitu banyak anak sekaligus? Apa artinya ini bagi siapa atau apa yang telah kita capai sebagai suatu bangsa?” ungkap Segalo.
Segalo menghubungkan adegan ini dengan pembentukan kota asalnya di Zamdela, tepat di luar Sasolburg di Negara Bagian Bebas. Ia mengatakan Zamdela merupakan bagian dari strategi yang dipikirkan dengan matang oleh pemerintah apartheid dengan bantuan seorang perencana kota Prancis, yang mempelajari arah angin untuk menentukan siapa yang harus ditempatkan di mana. Ia selanjutnya menjelaskan bahwa orang kulit hitam ditempatkan di lokasi di mana bahan kimia Sasol dari pabrik akan diarahkan ke tempat tinggal mereka. Ia menggambarkan ini sebagai proses yang direncanakan dengan matang untuk meracuni orang kulit hitam secara perlahan.
Segalo berpendapat bahwa ketika warisan kolonial terpatri di tubuh seseorang, seseorang tidak boleh membiarkan ketidaktahuan yang nyaman. Ia kemudian mengajukan dua pertanyaan, yaitu: “Bagaimana kita memahami ketidakhadiran tersebut ketika keuntungan material dan akses ke sumber daya terus menerus condong ke pihak penjajah? Bagaimana kita membayangkan kesejahteraan psikologis dan penyembuhan ketika begitu banyak orang terus menanggung luka kolonial yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari?”
Hari ke-2 konferensi menampilkan pidato yang menyentuh hati oleh aktivis Palestina, Prof. Haidar Eid dari Universitas Al-Aqsa dan Universitas Johannesburg, yang berbagi pengalaman pribadinya yang mengesankan tentang kehidupan di Gaza. Eid menekankan ketahanan rakyat Palestina yang tak tergoyahkan, yang teguh dalam perlawanan mereka terhadap apartheid. Ia menggarisbawahi perjuangan mereka yang tak kenal lelah untuk menegakkan keadilan, dengan menyerukan penerapan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). -Ind