Sepengal Cerita Mahasiswa Student Exchange
“Studying would be more fun in the Philippines.” Begitulah kutipan yang pernah saya baca dari sebuah testimonial lulusan University of Philippines dan saya mengakuinya. Menjadi seorang exchange student di Negara tetangga tidaklah mudah, apalagi ditambah saya hanya seorang diri dan jarak antara Yogyakarta dan University of Saint Anthony Iriga City Philippines lebih dari 4000 kilometer jauhnya. Saya masih ingat saat pertama kali saya menginjakkan kaki saya di Bandara Legaspi, saya tidak berhenti bersyukur karena saya diberi kesempatan untuk belajar lebih dan melihat dunia dari sisi yang berbeda. Saya namakan kehidupan 4 bulan saya disana “second life” dimana saya belajar untuk mengatasi rindu rumah yang teramat sangat, mengatasi culture shock karena budaya yang sangat berbeda, belajar mengatur ritme belajar saya yang baru, belajar memahami literature barat yang membuat saya merasa saya belum ada apa-apanya, dan yang pasti belajar bagaimana bertahan hidup di tengah hiruk pikuk deadline, tugas, ujian antara UAD dan USANT.
Hidup disana membuat saya bersyukur memeluk islam dan lebih mencintai agama saya. Kurang lebih hanya nol koma sekian persen penduduk muslim yang ada di Iriga City Philippines. Diawal masuk kelas, saya harus berurusan dengan teman-teman yang menanyakan tentang mengapa saya harus menggunakan jilbab, mengapa tidak boleh makan pork, mengapa harus sholat 5x sehari, dan ada beberapa juga yang menanyakan tentang multiple marriage atau poligami didalam islam. Pertanyaan-pertanyaan itu saya jadikan acuan untuk belajar bagaimana memposisikan islam sebagai agama yang damai dan membawa kedamaian. Sebagai seorang yang hanya satu-satunya dari Indonesia dan beragama islam di USANT, saya sempat kesulitan mengatur jadwal sholat dengan jadwal kelas saya. Karena tidak ada mushola ataupun masjid, satu-satunya tempat yang bisa saya gunakan untuk sholat adalah dorm saya yang jauhnya sekitar 7 menit jika berjalan kaki dari Fakultas saya kesana. Tidak jarang saya harus berlarian di koridor karena waktu yang saya punya hanya sekitar 45 menit untuk makan siang dan sholat dhuhur. Tidak ada adzan, hanya aplikasi pengingat sholat yang saya punya untuk mengobati kerinduan saya dengan suara adzan yang biasanya bersahut-sahutan di Indonesia.
Untuk system pendidikan di USANT sendiri sangat menekankan pada prinsip bahwa belajar itu bukan untuk nilai, melainkan belajar untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Relasi antara pengajar dan pelajar di USANT ini terbentuk dari kerangka sistem pendidikan yang diterapkan. Sistem pendidikan yang berusaha untuk menyampaikan pesan bahwa belajar itu adalah suatu aktivitas yang menarik dan menyenangkan untuk dilakukan. Selain itu, attitude seorang pelajar akan sangat mempengaruhi nilainya, tidak peduli seberapa pintar atau cerdas anak tersebut, jika tidak punya perilaku yang baik tidak akan mendapatkan apapun. Dari perjalanan akademik ini, saya juga lebih mengerti bagaimana saling menghormati antar budaya dan agama, saya juga belajar bahwa belajar itu dimana saja bahkan di sebuah kantin sembari menikmati makan siang. Saya pernah berfikir mengapa Allah memilihkan Filipina sebagai tujuan saya belajar, dan jawabannya adalah karena dari sana saya belajar banyak hal dan ketika saya kembali saya menjadi figure yang jauh lebih dewasa dalam menyikapi apapun. Dan ketika nanti ada seseorang yang bertanya kepada saya, “hai bagaimana kabarmu dan apa yang kamu pelajari disana?” saya hanya akan menjawab “Lihat saja saya yang sekarang dan kamu akan mengerti.”
Be an exchange student, because if you decide not to, you will regret it. And trust me, exchange year is the greatest time when you find new home, new families, and best friends from all over the world. My exchange year was over, brace yourself because this year is your turn! (Larasati Muthia)